logo blog
Sela Sela Sela
Terima kasih atas kunjungan Anda di website Jendela Pendidikan,
semoga apa yang saya share di sini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang bisa berguna untuk orang banyak.

STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ACTIVE LEARNING BERMUATAN KARAKTER


Strategi pembelajaran aktif (Active learning) dikenalkan pertama kali oleh Mel Silberman. Nilai karakter inti daari strategi ini adalah “aktif” atau dalam bahasa psikologi humanistis disebut aktualisasi diri (Maslow, William Craim, 2007). Dalam bahasa pendidikan karakter, aktif merupakan cerminan kerja keras, kemandirian, tamggung jawab dan hasrat rasa ingin tahu.
Sebelum Mel Silberman menemukan teori belajar aktif, jauh sebelumnya Paulo Freire, seorang ahli hukum yang terjuan ke dunia pendidikan mengkritik secara radikal terhadap pendidikan “gaya Bank” yang berlangsung saat itu. Pendidikan gaya bank adalah pendidikan yang memiliki corak guru subjek, peserta didik objek; guru mengajar, peserta didik diajar; guru berfikir, peserta didik difikir; guru berbicara peserta didik mendengarkan; guru aktif peserta didik pasif; guru maha tahu, peserta didik belum tahu, dan bentuk-bentuk hubungan dikotomik antagonistik lain antara guru dan peserta didik (Siti Murtiningsih, 2004). Inilah yang disebut dengan pendidikan gaya bank, dimana guru memperlakukan murid seperti tong sampah kosong yang harus siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahua. Sayangnya, anggapan guru yang merasa telah menuangkan ilmu kepada anak didiknya tersebut kurang tepat.

Pasalnya, ilmu itu dituagkan dengan metode ceramah tersebut dan dimuntahkan kembali oleh anak didiknya tanpa sengaja, karena otaknya tidak mampu merekam seluruh isi ceramah guru. Pola pendidikan yang demikian hap peserta didik-tidak untuk aktif belajar-sehingga kehilangan kesempatan beraktualisasi diri.
Atas lemahnya daya dengar peserta didik, atau tidak adanya peluang beraktualisasi diri dalam belajr tersebut, Mel Silberman mencermati pernyataan Confucius yang kemudian dimodifikasi, sehingga menjadi teori active learning.

Berdasarkan hasil modifikasi dan penyempuraan pernyataan Confucius di atas, dapat dipahami bahwa konsep active learning Mel Silberman menghendaki peran serta peserta didik yang tidak hanya mendengar, melainkan juga melihat supaya lebih paham walaupun sedikit, mendiskusikannya agar memahami atau mendalami, melakukannya agar memperoleh pegetahuan, dan mengajarkannya agar menguasainnya.

Modifikasi dan penyempurnaan Mel Silbareman diatas juga didasarkan pada berbahgai penelitian yang menunjukan bertapa terbatasnya daya dengar peserta didik. Penelitian yang dilakukan H.R. Pollio pada tahun 1984 menunjukan bahwa ketika dosen atau guru menggunakan metode ceramah, maka kata yang diucapkannya mencpaia 100 samapai 200 kata per menit. Tetapi kata-kata yang mampu direkam perserta didik dalam keadaan konsentrasi penuh hanya 50%. Penelitian lain menunjukan bahwa mahasiswa akan kehilangan daya konsentrasinnya hingga 40% setiap tatap muka. Bahkan penelitian ini mampu menelisik kapasitas mahasiswa lebih jauh, bahwa pada 10 menit pertama mahasiswa mampu menyerap 70% isi ceramah, tetapi pada 10 menit terakhir, daya serap mereka hanya berkisar 20%. Artinya, daya dengar mahasiswa atau peserta didik pada umumnya semakin lam semakin menurun (Hamruni, 2008).

Mengingat active learning berasal dari barat yang notabene telah mempunyai kultur akademik lebih maju, maka dalam konteks keindonesiaan, active learning perlu disesuaikan dengan kultur akademik indonesia. Hal ini disebabkan karena kultur akademik Indonesia berbeda dengan kultur akademik Barat. Misalnya, aktivitas membaca secara produktif telah menjadi tradisi di Barat. Salah satu contoh, ketika para pelajar menanti kedatangan bus atau kereta, bahkan didalam bus maupun kereta sekalipun, mereka memanfaatkannya untuk membaca. 

Hal ini berbeda sekali dengan dengan budaya di Indonesia yang masih menggunakan waktu-waktu tersebut hanya untuk berbincang yang tanpa arah ataupun hanya untuk ber-basa basi dan sejenisnya. Bahkan di negara yang serumpun. Malaysia contohnya, seorang mahasiswa pada setiap mata kuliah minimal membaca 10 buku, nah sementara di Indonesia, satu buku di bawa oleh 10 mahasiswa pada setiap mata kuliah. Artinya, satu buku dibagi-bagi kepada sejumlah mahasiswa dalam satu kelas berdasarkan jumlah bab maupun halaman.

Ketika mereka menerapkan active learning dengan menggunakan metode active debate misalnya, hasilnya akan berbeda antara Barat dan Indonesia. Metode active debate di Barat berjalan sangat luas dan mendalam, sedangkan active debate di Indonesia menjadi “debat kusir”. Hal ini disebabkan kekayaan referensi anatara Indonesia dan Barat. Referensi yang kompleks sangat bermanfaat dalam membangun argumentasi ketika berdebat. Sebaliknya, kemiskinan referensi membuat debat menjadi tumpul. Indonesia yang belum mempunyai tradisi membaca cukup baik, ketika active learning dengan metode active debate diterapkan, yang terjadi bukanlah debat yang argumentatif, melainkan debat kusir yang tidak ada ujung pangkalnya.

Oleh karena itu, khusus di Indonesia penerapan active learning perlu disesuaikan dengan kultur akademik yang ada. Bentuk penyesuaian tersebut diantaranya adalah pempersyaratkan peserta didik membaca buku-buku terkait (misalnya 5-10 buku) sebelum menggunakan active learning.

Enter your email address to get update from jendela pendidikan.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Copyright © 2013. Jendela Pendidikan - All Rights Reserved | Template Created by Kompi Ajaib Proudly powered by Blogger